makalah fiqih tentang hutang piutang
Tuesday, September 13, 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
Islam
mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek
muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial,
sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari
menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia
memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan baik. Permasalahan tentang hutang
sangat banyak, bahkan hutang bisa memutus hubungan silaturahim bahkan
persengketaan diantara manusia, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
membaca doa: "(Artinya = Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari bahaya
hutang bahaya musuh dan kemenangan para musuh)" begitu kawatirnya
Rasulullah tentang hutang dari pada musuh dan kemenangan para musuh. Makalah
ini akan membahas tentang hutang, yang bersumber dari hadits-hadits nabi
Muhammad SAW. Dalam makalah ini kita akan mendapat jawaban dari pertanyaan itu
semua, semoga makalah ini sesuai dengan yang kita harapkan dan menambah pahala
bagi penulis dan juga para membaca untuk mengamalkannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Utang Piutang Di dalam fiqih Islam,
hutang piutang atau pinjam
meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi
(bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang
yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada
yang menerima utang. Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna
Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada
siapa saja yang akan memanfaatkannya dan akan dikembalikan berdasarkan
kesepakatan yang telah disepakati. Meberikan utang merupakan kebajikan yang
membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan membantunya dalam
memenuhi kebutuhan.
B. Hukum Utang Piutang dan Hikmahnya
Hukum Hutang piutang pada
asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang
atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai
dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun
dalil-dalil disyari’atkannya Qardh adalah sebagai berikut:
1. Surah Al-Baqarah ayat
245: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:
245)
2. Surah Al-Hadid ayat 11:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh
pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
3. Surah Al-Taghabun ayat
17: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah
melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Taghabun: 17)
Ayat-ayat diatas berisi
anjuran untuk melakukan Qardh atau meberikan utang kepada orang lain, dan
imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Nabi SAW juga bersabda :
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu
seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh
Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil
(no.1389)). Berdasarkan hadist diataspun jelas sekali bahwa memberikan utang
sangat dianjurkan, dan akan diberi imbalan oleh Allah SWT.
Adapun hikmah disyari’atkannya qardh ditinjau
dari sisi sang penerima qardh adalah dapat membantu mengatasi kesulitan yang
sedang dialaminya. Sedangkan ditinjau dari sang pemberi qardh adalah dapat
menumbuhkan rasa kasih sayang dan tolong menolong sesama saudaranya dan peka
terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara, teman, ataupun tetangganya.
Dari pembahasan di atas,
kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman
adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena
Nabi SAW pernah berhutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh
umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan
tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut
Rasulullah SAW, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di
siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah SAW pernah
menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang
dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah SAW bersabda: “Akan
diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim
III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash R.A). Dan dari Ibnu Umar R.A
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan
menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan
diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak
(pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh
Al-Albani).
C.
Rukun dan Syarat Utang Piutang
Adapun yang menjadi rukun
qardh adalah:
1. Muqridh (yang memberikan
pinjaman).
2. Muqtaridh (peminjam).
3. Qardh (barang yang
dipinjamkan)
4. Ijab qabul Sedangkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
1) Orang
yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
2) Qardh
harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
3) Ijab
qabul harus dilakukan dengan jelas.