-->

ads

Makalah Etika Bisnis Perusahaan 3



2.    Perspektif Bisnis Mikro
Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif.

Dua prinsip yang menjadi acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:

1.    Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut

2.    Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain (b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

·         Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social.

·         Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain.

·         Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Karena itu diperlukan pemahaman pula akan berbagai contoh kasus etika bisnis yang lebih luas.

IV. PENERAPAN ETIKA PADA ORGANISASI PERUSAHAAN
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai perilaku moral yang nyata?

Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini:

Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama yang dilakukan manusia.

Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral. Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia, indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral: individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara bermoral.

MACAM-MACAM HAK PEKERJA
1.    Hak atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan merupakan suatu hak asasi manusia. Karena, pertama, sebagai mana dikatakan John Locke, kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktivitas tubuh dan karena itu  tidak bisa dilepaskan atau dipikirkan lepas dari tubuh manusia. Karena tubuh adalah milik kodrati atau asasi setiap orang, dan karena itu tidak bisa dicabut, dirampas, atau diambil darinya, maka kerja pun tidak bias dicabut, dirampas, atau diambil dari seseorang. Maka, sebagaimana halnya tubuh dan kehidupan merupakan salah satu hak asasi manusia, kerja pun merupakan salah satu hak asasi manusia. Bersama hak atas hidup dan tubuh, hak atas kerja dimiliki manusia hanya karena dia adalah manusia. Ia melekat pada manusia sebagai manusia sejak lahir dan seorangpun tak dapat merampasnya.

Kedua, kerja merupakan perwujudan diri manusia. Melalui kerja, manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Melalui kerja manusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia mandiri.

Ketiga, hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak. Hanya dengan dan melalui kerjanya manusia dapat hidup dan juga dapat hidup secara layak sebagai manusia. Karena dengan pentingnya, hak ini lalu dikodifikasi dalam hukum positif oleh Negara tertentu. Indonesia misalnya, dengan jelas mencantumkan, dan berarti menjamin sepenuhnya, hak atas pekerjaan ini. Pasal 27, ayat 2, UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ini berarti negara kita mengakui dan menjamin hak atas pekerjaan sebagai hak asasi (demi kemanusiaan), dan juga karena hak ini berkaitan dengan penghidupan yang layak sebagai manusia. Ini menunjukkan bahwa jauh sebelum Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB, yang juga menganggap hak atas pekerjaan sebagai suatu hak asasi manusia, Indonesia telah mengakui hak atas pekerjaan sebagai suatu hak asasi yang dimiliki setiap warga.

2.    Hak atas Upah yang Adil
Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Karena itu perusahaan yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah yang adil. Dalam hak atas upah yang adil ada tiga hal yang harus ditegaskan.

     Pertama, bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah. Artinya, setiap pekerja berhak untuk dibayar. Ini merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Dalam kerangka keadilan komutatif ini merupakan hak sempurna, yaitu hak yang dituntut untuk dipenuhi perusahaan dan bahkan setiap pekerja berhak memaksa perusahaan untuk memenuhinya.

     Kedua, setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, tetapi juga berhak untuk memperoleh upah yang adil, yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.

     Ketiga, hak atas upah yang adil adalah bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan. Dengan kata lain, harus berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Maksudnya, tidak boleh ada tingkat upah yang berbeda-beda antara satu pekerja dengan pekerja yang lain untuk bidang pekerjaan yang sama, kecuali atas dasar pertimbangan yang rasional dan objektif dan dari segi moral dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka dan transparan. Halaman Selanjutnya Hal 4
Halaman Selanjutnya   Hal...1,   Hal...2,    Hal...3,   Hal... 4

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel