MAKALAH LENGKAP TUGAS DAN PERAN MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DI MUKA BUMI
Monday, October 5, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
ALLAH SWT menciptakan alam semesta dan menentukan fungsi-fungsi
dari setiap elemen alam ini. Mata hari
punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah seterusnya;
bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya hingga makhluk
yang paling kecil masing-masing memiliki fungsi dalam kehidupan.
Bagi seorang atheis, manusia tak lebih dari fenomena alam seperti
makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia menurut mereka hadir di muka bumi
secara alamiah dan akan hilang secara alamiah. Apa yang dialami manusia,
seperti peperangan dan bencana alam yang menyebabkan banyak orang mati, adalah
tak lebih sebagai peristiwa alam yang tidak perlu diambil pelajaran atau
dihubungkan dengan kejahatan dan dosa, karena dibalik kehidupan ini tidak ada
apa-apa, tidak ada Tuhan yang mengatur, tidak ada sorga atau neraka, seluruh
kehidupan adalah peristiwa alam. Bagi orang atheis fungsi manusia tak berbeda
dengan fungsi hewan atau tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagai bagian dari alam.
Bagi orang yang menganut faham sekuler, manusia adalah pemilik alam
yang boleh mengunakannya sesuai dengan keperluan. Manusia berhak mengatur tata
kehidupan di dunia ini sesuai dengan apa yang dipandang perlu, dipandang baik
dan masuk akal karena manusia memiliki akal yang bisa mengatur diri sendiri dan
memutuskan apa yang dipandang perlu. Mungkin dunia dan manusia diciptakan oleh
Tuhan, tetapi kehidupan dunia adalah urusan manusia, yang tidak perlu dicampuri
oleh agama. Agama adalah urusan individu setiap orang yang tidak perlu dicampuri
oleh orang lain apa lagi oleh negara.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu
sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka
bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan.
Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri
kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar,
karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki
tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manusia Sebagai Khalifatullah
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah
sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah
untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk
mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi
ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk
beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia
dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di
bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta
bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat
tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini
kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S.
Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas
sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai
khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas
yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai
khalifatullah. Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya
tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan”
ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya
merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang
menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya
sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan
jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan
penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat. Jabatan manusia sebagai khalifah
adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh
atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan
amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua
makhluknya.
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi
ini beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah
bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama fil ardh.
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan,
semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin
yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan
cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya
dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam
dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke
dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh
janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada
rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu
apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah
menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk
Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya Manusia mulai melakukan
penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil
baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai
khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan. Makna
sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik
dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti
ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya: Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa
li ya’budu.
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya
adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua
macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu
mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu
mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah
mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang
melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah
mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu
mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah
tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
B.
Manusia Dalam Prespektif Kekhalifahan
1.
Eksistensi manusia
Istilah eksistensi mempunyai makna yang terkaya
dan terdalam, ditemukan dalam bahasa arab. Eksistensi berasala dari akar kata
kerja wajada, bentuk kata ini berarti “menemukan” dan turunnya adalah wujud
(ada), wijdan (sadar), wajd (nirwana) dan wujd. Dalam bentuk wajd, wujd, dan
wijdan berarti “mempunyai milik”, dan mempunyai milik pada akhirnya
mengantarkan pada wujud independen, yakni wujud yang tidak tergantung pada yang
lain. Mana lain dari istilah wujud (eksisensi) dan suatu keberadaan yang
dirasakan, ditemukan dan ditentukan oleh panca indera. Karena itu dapat
dikatakan bahwa ada sesuatu yang dapat dirasakan panca indera. Di sisi lain ada
juga keberadaan yang tidak dapat diketahui dengan perasaan tapi dengan nalar.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa eksisensi manusia berarti keberadaan
manusia, artinya segala sesuatu yang ada atau yang muncul yang dapat diemukan
atau dirasakan pada diri manusia baik secara fisis maupun metafisis, empiris
maupun meta empiris.
Ada
pengertian eksistensi manusia oleh Al-Ghazalli didefinisikan sebagai komposisi
yang meperlihatkan keberadaan manusia dalam suatu totalitas. Artinya manusia
sebagai kenyataan faktual terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu
komposisi yang menunjukkan keberadaannya. Eksistensi manusia merupakan
perpaduan antara beberapa unsur yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menurut Ibnu
Qoyyim, hakikat diri manusia itu merupakan paduan antara beberpa unsur yang
saling berkaitan dan tidak mungkin dipisah-pisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Beberapa unsur yang dimaksud itu adalah ruh, akal dan badan. Hal yang
sama juga dikemukakan oleh M. Qutb bahwa dalam perspektif islam eksistensi
manusia yang merupakan paduan antara ketiga unsur tersebut merupakan satu
kesatuan yang terpadu dan saling berkaitan, badan yang bersifat materi tidak
bisa dipisahkan dengan akal dan ruh yang bersifat imateri. Masing-masing dari
ketiga unsur tersebu memiliki daya aau potensi yang saling mendukung dan
melengkapi dalam perjalanan hidup manusia.
2.
Eksistensi Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan
Manusia mempunyai keistimewaan dibanding dengan
makhluk Tuhan yang lainnya dimuka bumi ini. Keistimewaan ini bisa dilihat dari
sisi penciptaan fisik maupun personalitas karakternya. Karena keistimewaannya
itu, manusia memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda dengan makhluk yang
lain.[14]hal ini dapat kita lihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 30-33 yang
memaparkan proses kejadian manusia dan pengangkatannya sebagai khalifah. Proses
kejadian inilah yang dapat memberikan pengertian kedudukan manusia sebagai
khallifatullah dalam Alam Semesta. Sebagaimana diungkapkan beberapa penafsir
berikut:
a. Musthafa
Al-Maraghi
Menurut Musthfa Al-Maraghi Q.S. Al-Baqarah ayat
30-33 menceritakan tentang kisah kejadian umat manusia. Menurutnya dalam kisah
penciptaan Adam yang terdapat dalam ayat tersebut mengandung hikmah dan rahasia
yang oleh Allah diungkap dalam bentuk dialok antara Allah dengan malaikat. Ayat
ini termasuk ayat Mutasyabihat yang tidak cukup dipahami dari segi dhahirnya
ayat saja. Sebab jika demikian berarti Allah mengadakan musyawarah dengan
hambanya dalam melakukan penciptaan. Sementara hal ini adalah mustahil bagi
Allah. Karena ayat ini kemudian diartikan dengan pemberitaan Allah pada para
malaikat tentang penciptaan Khalifah di Bumi yang kemudian para Malaikat
mengadakan sanggahan. Berdasarkan tersebut, maka ayat diatas merupakan tamsil
atau perumpamaan dari Allah agar mudah dipahami oleh manusia, khususnya
mengenai proses kejadian Adam dan keistimewaannya.
C.
Tugas dan Peranan Manusia Dimuka Bumi
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah
di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia
sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara
bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
1.
Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang
dibebankan Allah SWT. Manusia harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi
kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi
itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar
tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2.
Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga
memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia).
Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi
kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangata
potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia.
Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai
khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh
Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk
yang dimaksud adalah agama (Islam).
Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW
untuk memelihara bumi dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak
yang membangkang dibanding yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia
akan cenderung untuk berbuat kerusakan, hal ini sudah terjadi pada masa nabi –
nabi sebelum nabi Muhammad SAW dimana umat para nabi tersebut lebih senang
berbuat kerusakan dari pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani Israil,
seperti yang Allah sebutkan dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4 yang
berbunyi :Teks lihat “google Al-Qur’an onlines”
Artinya : dan telah Kami tetapkan terhadap Bani
Israil dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi
ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang
besar“. (QS Al Isra : 4)
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat
tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak
melakukan pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti
firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi: Teks lihat “google
Al-Qur’an onlines” Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. (QS AL Qashash : 7)
Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat
berbeda, apalagi manusia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh
makhluk yang lain, salah satunya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk
penciptaan, namun kemuliaan manusia bukan terletak pada penciptaannya yang
baik, tetapi tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran yang
telah digariskan Allah atau tidak, bila tidak, maka ia akan dimasukkan ke dalam
neraka dengan segala kesengsaraannya.
Allah SWT berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka
bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya." (95: 4 -- 6). Paling kurang
ada tiga tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia dan sebagai seorang
muslim, kita bukan hanya harus mengetahuinya, tetapi menjalankannya dalam
kehidupan ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan
menyenangkan.
Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok,
bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang
dilakukan oleh manusia dan sebagai apa pun dia, seharusnya dijalani dalam
kerangka ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang artinya,
"Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka
menyembah-Ku." (51: 56).
Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan
ke dalam ibadah kepada Allah SWT, paling tidak ada tiga kriteria yang harus
kita penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena
Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal
oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang
melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu
berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang
memang sudah ringan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun
akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk
dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk
mengamalkannya.
Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang
benar, bukan membenarkan segala cara, sebagaimana yang telah digariskan oleh
Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan
segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, maka tidak ada
penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup
manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan
tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini akan membuat manusia hanya punya satu
kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan
kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari
dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali
terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru
bertentangan dengan ridha Allah SWT.
Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari
Allah SWT harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya,
manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi
ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah SWT berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (2:
30).
Untuk bisa menjalankan fungsi
khalifah, manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta
menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat
mendasar untuk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan
kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan,
karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi
khalifah pada dirinya. Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat karena mereka melupakan hari perhitungan." (Shad: 26).
Untuk bisa memperoleh kehidupan yang
baik di dunia ini, salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan
hukum secara adil sehingga siapa pun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai
dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat
ditekankan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya
yang artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." (4: 58).
D.
Makna Dan Peran Kekhalifahan Manusia Di Bumi
Manusia dipilih sebagai
khalifatullah, sebagaimana diuraikan diatas, karena kelebihan yang
dianugerahkan Allah kepada manusia berupa ilmu pengetahuan, yang tidak
diberikan kepada makhluk Allah yang lain termasuk malaikat. Ayat-ayat diatas
yang menyampaikan tentang pengajaran Allah kepada manusia memberikan pengertian
bahwa untuk dapat menjalankan fungsi dan peran kekhalifahan diperlukan modal
atau syarat yaitu ilmu. Hal ini senada dengan pendapat Quraish Shihab bahwa
pengetahuan atau potensi yang berupa kemampuan menyebutkan nama-nama itu
merupakan sayrat sekaligus modal bagi Adam (Mnusia) untuk mengelola bumi ini.
Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas
kekhalifahan manusia akan gagal, meskipun ia tekun ruku’, sujud dan beribadah
kepada Allah sebagaimana yang dilakukan oleh malaikat. Meski malaikat merupakan
makhluk yang paling taat, tapi tetapp dinilai sebagai makhluk yang tidak
memliki kemampuan untuk menjadi khalifah, karena ia tidak memiliki ilmu atau
pengetahuan tentang hal itu.
Dalam beberapa ayat juga disebutkan
bahwa manusia memiliki kehidupan ideal dan dari kehidupan ideal itu manusia
didorong kepada kehidupan riil agar ia dapat teruji sebagai makhluk fungsional
(Q.S. Al-Mulk/67:2). Maksudnya, hidup atau kehidupan riil adalah hidup di bumi
sekaligus mati di bumi. Dalam kaitan ini menurut konsepsi Al-Qur’an manusia
juga sering disebut sebagai khalifah dalam pengertian kuasa (mandataris, bukan
penguasa). Dalam status itulah manusia terkait dengan berbagai hak, kewajiban,
serta tanggungjawab, yang semuanya merupakan amanah baginya.
Kemuliaan manusia ini menunjukkan
bahwa manusia dibanding dengan makhluk lain memiliki keistimewaan yang
membawanya kepada kedudukan yang istimewa pula yaitu khalifah. Dalam kedudukan
ini manusia diiberi peran untuk membangun dan mengembangkan dunia baik secara
sendiri-sendiri (individualistik) maupun bersama-sama(sosial). Manusia mampu
berperan menenukan nasib mereka sendiri. Peran ini dilakukan secara sadar dan
melalui kehendak bebasnya, artinya manusia dapat menentukan masadepanya atas
dasar pengeahuan tentang diri, kehidupan disekeliling mereka dan berdasarkan
intelekualitas serta pemeliharaan diri secara baik.
Manusia selaku khalifah memiliki
kebebasan berkehendak (free will), suatu kebebasan yang menyebabkan manusia
dapat memilih tingkah lakunya sendiri. Manusia dibekali akal yang dengan akal
itu manusia mampu membuat pilihan antara yang benar dan yang salah.
Berbeda dengan M. Quraish Shihab
ysng mengharuskan memiliki karakter sebagai manusia secara pribadi maupun
kelompok, mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah, guna membangun dunia
sesuai konsep yang dieepkan Allah. Sehinga khalifah harus memiliki empat sisi
karakter yang saling terkait. Keempat sisi tersebut adalah:
a.
Memenuhi
tugas yang diberikan Allah.
b.
Menerima ugas
tersebut dan melaksakannya dalam kehidupan perorangan maupun kelompok.
c.
Memelihara
serta mengelola lingkungan hidup unuk kemanfaatan bersama.
d.
Menjadikan
tugas-tugas khalifah sebagai pedoman pelaksanaannya.
M. Kuraish shihab memetakan
karakterisik khalifatullah dengan menganalisis tafsir milik Al-Tabrasi
dikemukakan didalamnya bahwa kata imam mempunyai makna yang sama dengan
khalifah. Hanya kata imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari
kata yang mengandung arti depan, yang berbeda dengan khalifah yang terambil
dari kata “belakang”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan penciptaan manusia di atas
dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini
adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia
di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam
rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai
kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat
Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah:
30)
M. Kuraish shihab memetakan karakterisik
khalifatullah dengan menganalisis tafsir milik Al-Tabrasi dikemukakan
didalamnya bahwa kata imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya
kata imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang
mengandung arti depan, yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata
“belakang”.
Ketika memerankan fungsinya sebagai
khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan
dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al
‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari
pihak manapun.
Memakmurkan Bumi adalah Manusia
harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat
manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil
dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah
Memelihara Bumi adalah Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara
akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari
kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan
sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangata potensial merusak
alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maraghi, Musthafa. Tafsir Al-Maraghi (Terj.) (Semarang: Thoha Putra, 1985)
Dawamraharjo, M. Ensiklopedia Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996)
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Juz.1) (Jakarta: Pustaka
Panji Mas, 1982)
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan, Suatu
Analisa Psikolgi dan Pendidikan (Jakarta,: Pusaka Al Husna,1989),
Madjid, Nurcholis. Islam, Dokrin dan Peradaban (jakarta:Paramadina, 1992)
Munawwir, Ahmad Warson. Al munawwir, Kamus Arab-Indonesia,(Yogyakara, Tampa Tahun)
Hasbullah, Muzaidi. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim
(Terj) (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,
2002)
Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000)
Nasution, Harun. Islam Rasional (Bandung: Mizan,
1995) Tedi Priatna, Reaktualisasi
Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)
Saifuddin, Endang Anshari, Wawasan Islam,
Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan
Umatnya (Bandung: Pustaka, 1983)
Shihab, M. Qurais. Membumikan Al-Qur’an, fungsi
dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat, (Bnadung:Mizan, 2007)