MAKALAH BUDAYA SUKU BUGIS
Tuesday, October 13, 2015
KEBUDAYAAN SUKU BUGIS
Suku
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu
muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia
tepatnya Yunan.
Penyebaran
Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang-orang bugis
umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka
merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal
lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di
masa lalu.
1. Sejarah Perkembangan Suku Bugis
Orang
Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah
didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari
“dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi
(Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya
orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak
perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan
etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis”
berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan
"ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina,
tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana
Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi
menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi
adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari
Sawerigading.
Sawerigading
sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La
Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang
Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo
dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.
2. Adat Istiadat
Salah
satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang.
Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu
kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini
terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19
km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah
ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling
menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui
bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada
kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang
Selatan’.
3. Adat Pernikahan
Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat
perkawinan ideal:
a.
Assialang Maola Ialah perkawinan antara
saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu.
b.
Assialanna Memang Ialah perkawinan antara saudara
sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
c.
Ripaddeppe’ Abelae Ialah perkawinan antara
saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu atau masih
mempunyai hubungan keluarga.
Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang
dan dianggap sumbang (salimara’):
a.
perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
b.
perkawinan antara saudara sekandung
c.
perkawinan antara menantu dan mertua
d.
perkawinan antara paman / bibi dengan
kemenakan
e.
perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu
Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1.
Lettu ( lamaran)
Ialah
kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk menyampaikan keinginannya
untu melamar calon mempelai perempuan.
2.
Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
Ialah
kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas
kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya
3.
Madduppa (Mengundang)
Ialah
kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua
bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan
yang akan
dilaksanakan.
4.
Mappaccing (Pembersihan)
Ialah
ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh
kaum bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di
mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang
dihormati untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan
daun pacci (daun pacar),kemudian para undangan di persilahkan untuk
memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk
membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada
kedua orang tua calon mempelai.
Ø Pasangan Pengantin
Hari
pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja , ialah prosesi dari mempelai
laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan
membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai
wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan
dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’.
setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai
dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah
mempelai laki-laki.
mappaenre botting :
Beberapa hari setelah pernikahan para
pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai
wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung
sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua
mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.
4. Kepercayaan
Orang-orang
ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon
keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang
tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan
berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah
mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita,
salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
5. Hukum Adat
Di
Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada
masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam
pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan
berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata
hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan
hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e
De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak
mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek
Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan
martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan
turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga
melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau
dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi
keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin
menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih
dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.
Walaupun
tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhiketika dipanggil
oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri
peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’
disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo,
Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di
Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini
terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui
musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul
atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh
para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat.
Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati
kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun
sudah menerapkannya.
6. Mata Pencaharian
Karena
masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu
masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang
pendidikan.
Ø Adat Panen
Mulai
dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara
appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase
sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan
bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang
ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu
ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu
epos Lagaligo tentang padi.
Dan
ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya
diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah
dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan
appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko
dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
Bagi
komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup
petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk
manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh
sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang
Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang
sangat dihormati.
7. Bahasa Suku Bugis
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan
etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian
Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare,
Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten
Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten
Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat
Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya,
suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum
Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai
tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak
abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
Aksara
Bugis
8. Kesenian
Ø Alat musik:
a. kecapi
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan
khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya
kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya
menyerupai perahu yang memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya
dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para
tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
b. Sinrili
Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di
mainkan dengan membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam
keedaan pemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
c. Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat
panjang dan bundar seperti
rebana.
d. Suling
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
o Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling
jenis ini telah punah.
o Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan
piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
o Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih
terplihara di daerah Kecamatan
Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu.
Ø Seni Tari
v Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa
disebut tari meminta hujan.
v Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang
Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda
kesyukuran dan kehormatan
v Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan
perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan
kesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan Bugis.
v Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan
oleh calabai (waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan
dikategorikan telah punah.
v Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa
,tari Pa’galung, dan tari Pabbatte(biasanya
di gelar padasaat Pesta Panen).
e.
Makanan
Khas Sulawesi Selatan
v Coto Makassar
v Konro
v Sop Saudara
v Pisang Epe’
v Pisang Ijo
v Palu Bassah
v Pala Butung
v Nasu Palekko (Bebek)
f.
Permainan
Beberapa
permainan khas yang sering dijumpai di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo,
Mappadendang, Ma’gasing, Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga,
Mappasajang (layang-layang), Malonggak
g.
Senjata
Suku Bugis
KAWALI
senjata khas suku bugis