pajak daerah
Thursday, February 26, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pelaksanaan
UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang
mendasar mengenai pengaturan hubunganPusat dan Daerah, khususnya dalam bidang
administrasi pemerintahan maupundalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, yang dikenalsebagai era otonomi daerah.Dalam era otonomi daerah
sekarang ini, daerah diberikan kewenanganyang lebih besar untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.Tujuannya antara lain adalah untuk lebih
mendekatkan pelayanan pemerintahkepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk
memantau dan mengontrolpenggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan BelanjaDaerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar
daerahdan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan
tersebut,Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber
keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahandan
pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tuntutan
peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknyakewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihanpersonil,
peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlahbesar.
Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh
pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaanotonomi daerah, meskipun
jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnyasebesar 25 persen dari
Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerahharus lebih kreatif dalam
meningkatkan PADnya untuk meningkatkanakuntabilitas dan keleluasaan dalam
pembelanjaan APBD-nya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus
digali secara maksimal, namun tentusaja di dalam koridor peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasukdiantaranya adalah pajak daerah dan
retribusi daerah yang memang telah sejaklama menjadi unsur PAD yang utama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PRINSIP
DAN KRITERIA PERPAJAKAN DAERAH
Kebijakan
pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan tidakberbenturan dengan
pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), karena haltersebut akan
menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akanmendistorsi kegiatan
perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasidalam UU No.18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerahsebagaimana diubah dengan UU
No.34 Tahun 2000, dimana dinyatakan dalamPasal 2 ayat (4) yang antara lain
menyatakan bahwa objek pajak daerah bukanmerupakan objek pajak pusat.Sementara
itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang dianut olehbanyak negara di
dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yangbaik pada umumnya tetap
sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentangperpajakan daerah sebagai
berikut:
Ø prinsip
memberikan pendapatan yang cukup dan elastis,
artinya
dapatmudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
Ø adil
dan merata secara vertical artinya sesuai dengan tingkatan kelompokmasyarakat
dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggotakelompok masyarakat
sehingga tidak ada yang kebal pajak.
Ø administrasi
yangfleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayananmemuaskan bagi si
wajib pajak
Ø secara
politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dankesadaran
pribadi untuk membayar pajak.
Ø Non-distorsi
terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yanghanya menimbulkan
pengaruh minimal terhadap perekonomian. Padadasarnya setiap pajak atau pungutan
akan menimbulkan suatu beban baikbagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai
suatu pajak ataupungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang
berlebihan,sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight
loss).
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut,
maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri
dimaksud, khususnya yang terjadidi banyak negara sedang berkembang, adalah
sebagai berikut:
Ø pajak
daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antarapenerimaan
pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
Ø relatif
stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu
besar,kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun
secaratajam.
Ø Tax
basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan(benefit) dan
kemampuan untuk membayar (ability to pay ).
Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberiankewenangan untuk
mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkankriteria-kriteria perpajakan
yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harusmempertimbangkan ketepatan
suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerahyang baik merupakan pajak yang
akan mendukung pemberian kewenangankepada daerah dalam rangka pembiayaan
desentralisasi.Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak
harus tetap“menempatkan” sesuai dengan fungsinya.
B.
KETENTUAN
MENGENAI PUNGUTAN PAJAK DAERAH DANRETRIBUSI DAERAH
Pengaturan
kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah danRetribusi Daerah dalam UU No.18
Tahun 1997 selama ini dianggap kurangmemberikan peluang kepada daerah untuk
mengadakan pungutan baru.Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan
kewenangan kepadadaerah namun harus ditetapkan dengan PP. Sehingga pada waktu
UU No. 18Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan baru
karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Perda
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahandari Pusat
juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Dengan diubahnyaUU No.18 Tahun
1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerahdan retribusi daerah akan
menjadi salah satu PAD yang penting guna membiayaipenyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah.Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP
No.65Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang
RetribusiDaerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut
olehPropinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota. Pajak
Propinsiditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama
KendaraanBermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan
Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi
bersifatlimitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain
yang telahditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai
dengankriteria yang ditetapkan dalam UU.
Dengan
adanya pemisahan jenis pajakyang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh
Kabupaten/Kota diharapkantidak adanya pengenaan pajak berganda.Dalam rangka
pengawasan, Perda-perda tentang pajak dan retribusi yangditerbitkan oleh
Pemerintah Daerah harus disampaikan kepada PemerintahPusat paling lambat 15
(lima belas) hari sejak ditetapkan.
C.
PERANAN
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DALAMMENDUKUNG PEMBIAYAAN DAERAH
Pajak
daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peranserta masyarakat
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah danretribusi daerah
merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untukmembiayai penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah.Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada
umumnya dalam kaitanpenggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah,
yang merupakansalah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi
yangsignifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.Untuk
mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah,tampaknya pungutan
pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai
sumber pembiayaan desentralisasi
D. OPTIMALISASI
PUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DALAMRANGKA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KEUANGAN
DAERAH
Ciri utama yang
menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomiyaitu terletak pada kemampuan
keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harusmemiliki kewenangan dan kemampuan
untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan
keuangan sendiri yang cukupmemadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya.Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga
PADkhususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber
keuanganterbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat
danDaerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.Berkaitan
dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perludilakukan untuk
meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itudiperlukan intensifikasi dan
ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek kegiatan yang
paling mudah dan dapat segera dilakukan adalahdengan melakukan intensifikasi
terhadap obyek atau sumber pendapatan daerahyang sudah ada terutama melalui
pemanfaatan teknologi informasi. Denganmelakukan efektivitas dan efisiensi
sumber atau obyek pendapatan daerah,maka akan meningkatkan produktivitas PAD
tanpa harus melakukan perluasansumber atau obyek pendapatan baru yang
memerlukan studi, proses dan waktuyang panjang. Dukungan teknologi informasi
secara terpadu gunamengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena sistem
pemungutan pajak yangdilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah
ini tercermin padasistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan
masihbanyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar
kemungkinaninformasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda
dan data tidak up-to-date
Permasalahan pada
sistem pemungutan pajak cukup banyak,misalnya : baik dalam hal data wajib
pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target
pemenuhan pajak yang tidak optimal.
Secara umum, upaya
yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalamrangka meningkatkan pendapatan
daerah melalui optimalisasi intensifikasipemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah, antara lain dapat dilakukandengan cara-cara sebagai berikut :
v
Memperluas
basis penerimaan
Tindakan yang
dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapatdipungut oleh daerah,
yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial,antara lain yaitu
mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlahpembayar pajak, memperbaiki
basis data objek, memperbaiki penilaian,menghitung kapasitas penerimaan dari
setiap jenis pungutan.
v
Memperkuat
proses pemungutan
Upaya yang dilakukan
dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antaralain mempercepat penyusunan
Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
v
Meningkatkan
pengawasan
Hal ini dapat
ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaansecara dadakan dan
berkala, memperbaiki proses pengawasan,menerapkan sanksi terhadap penunggak
pajak dan sanksi terhadap pihakfiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan
pelayanan yangdiberikan oleh daerah.
v
Meningkatkan
efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang
dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaikiprosedur administrasi pajak
melalui penyederhanaan admnistrasi pajak,meningkatkan efisiensi pemungutan dari
setiap jenis pemungutan.
v
Meningkatkan
kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansiterkait di
daerah.Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu
melaluikebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan
yanglebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu
adanyaperubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem
pembagianlangsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat
dipungutoleh daerah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapat kami simpulkan hal-hal sebagaiberikut:Sumber
pembiayaan bagi daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasifiskal yaitu PAD,
Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaanyang sah. Pajak
daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satukomponen PAD, seharusnya
merupakan sumber penerimaan utama bagidaerah, sehingga ketergantungan daerah
kepada Pemerintah Pusat (DanaPerimbangan) semakin berkurang, yang pada
gilirannya daerah diharapkan akanmemiliki akuntabilitas yang tinggi kepada
masyarakat lokal.
Kebijaksanaan
Pemerintah Daerah yang sangat tepat saat ini untukmeningkatkan penerimaan
daerah dalam jangka pendek sebaiknyadititikberatkan pada intensifikasi
pemungutan pajak yaitu mengoptimalkan jenis- jenis pungutan pajak daerah dan
retribusi daerah yang sudah ada.Upaya untuk meningkatkan PAD di masa mendatang
seyogyanya dilakukan melalui peningkatan taxing power antara lain melalui
penyerahan beberapa pajakPusat kepada Daerah, penyerahan sebagian PNBP kepada
Daerah dan lain-lainkebijakan sharing tax atau piggy backing system. Bagi
Kabupaten/Kota perludiberikan tambahan pendapatan dengan memberikan kewenangan
penuh untukmemungut pajak sampai dengan besaran tertentu. Untuk itu, PBB dan
BPHTB disarankan dialihkan menjadi pajak Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kotadiberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak
(tax-base) dantarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak
tersebut. Disamping itudisarankan adanya perubahan bagi hasil PPh Pasal 21 dan
Pasal 25 dan Pasal29 Orang Pribadi menjadi opsen atau PPh tersebut dengan tetap
mempertahankan tarif efektif yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA