-->

ads

Menjauhi Sifat-sifat Hasad, Riya, Aniaya dan Diskriminasi



Menjauhi Sifat-sifat Hasad, Riya, Aniaya dan Diskriminasi
A. Sikap Hasad/Hasud
Kata hasud dalam bahasa Arab berarti orang yang memilki sifat dengki. Dengki adalah satu sikap mental seseorang yang tidak senang orang lain mendapat kenikmatan hidup dan berusaha untuk melenyapkannya. Sifat ini harus dihindari oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah SAW telah bersabda:
دَبَّ اِلَيْكُمْ دَاءُ الاُمَمِ قَبْلَكُمْ البَغْضَاءُ وَ الحَسََدُ هِيَ حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ
(رواه احمد و ترمذى)
Artinya: “Telah masuk ke tubuhmu penyakit-penyakit umat tedahulu, (yaitu) benci dan dengki, itulah yang membinasakan agama, bukan dengki mencukur rambut.” (HR Ahmad dan Turmidzi)
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa hancurnya agama sejak dahulu adalah disebabkan oleh timbulnya sifat benci dan dengki diantara pemeluknya. Betapa kejinya sifat benci dan dengki apabila berkembang ditengah-tengah masyarakat apalagi di sekolah. Sifat tersebut dapat menghancurkan nama baik sekolah dan sudah dapat dipastikan sekolah tersebut akan menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat di sekitarnya.
Perlu diketahui, bahwa seseorang yang dihasudi, tidak akan pernah berkurang rezekinya karena adanya orang yang hasud kepadanya, bahkan seorang yang hasud kepadanya tidak akan pernah mampu “mengambil sesuatu” yang dimiliki oleh orang yang dihasudi tersebut. Oleh karena itu, keinginan orang yang hasud akan hilangnya apa yang diberikan Allah Swt terhadap orang yang dihasudinya itu merupakan perbuatan yang sangat zalim.
Selanjutnya, seorang yang hasud sebaiknya melihat keadaan orang yang dihasudinya. Jika orang yang dihasudinya itu memperoleh kenikmatan duniawi semata, maka sebaiknya dia menyayanginya, bukan bersikap hasud kepadanya, karena apa yang diperolehnya memang sudah ditentukan baginya bukan untuk orang yang hasud tersebut. Bukankah kelebihan harta benda merupakan suatu kesusahan? Seperti yang diungkapkan oleh al-Mutanabbi: “Seorang pemuda menuturkan ‘kehidupannya’ yang kedua. Yang dibutuhkannya hanyalah yang dimakannya. Sedangkan kelebihan kehidupannya hanya menjadi kesusahan baginya saja”.
Maksud dari perkataan di atas adalah bahwa banyaknya harta benda akan menyebabkan timbulnya perasaan khawatir yang berlebihan dalam dirinya. Seseorang yang memiliki banyak budak perempuan, maka dia akan semakin merasa khawatir kepada mereka atau bahkan banyak menyita perhatian dan pikirannya. Begitu juga dengan seseorang yang sedang berkuasa, dia sangat merasa ketakutan akan dicopotnya jabatan tersebut dari dirinya.
Ketahuilah, bahwa kenikmatan itu seringkali bercampur dengan kesusahan. Kenikmatan mungkin hanya bisa dirasakan sebentar saja, tetapi kesusahan yang mengiringinya mungkin akan dirasakan dalam waktu yang lama, sehingga orang tersebut menginginkan agar kenikmatan itu segera sirna saja atau dia bisa membebaskan diri dari kenikmatan tersebut. Yakinlah, bahwa sesuatu yang membuat seseorang merasa iri terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain belum tentu dirasakan oleh orang tersebut seperti yang dibayangkan oleh orang yang hasud tersebut. Banyak orang yang menyangka bahwa para pejabat itu bergelimang dengan kenikmatan. Mereka tidak memahami bahwa jika seseorang sangat menginginkan sesuatu, kemudian dia berhasil memperolehnya, maka sesuatu itu akan terasa biasa-biasa saja baginya, dan dia akan terus mengejar sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi dari itu. Sementara, orang yang hasud hanya memandang semua itu dengan pandangan yang penuh harap dan penuh ambisi. Seorang yang hasud hendaknya mengetahui konsekuensi penderitaan yang mungkin saja dialami oleh orang yang dihasudinya di balik kenikmatan yang semu yang dirasakannya.
Dalam sebuah hadits yang sanadnya bersambung kepada Zubair bin al-‘Awwam, Rasulullah Saw bersabda: “Telah menjalar kepada kalian penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu (penyakit) hasud dan permusuhan. Sifat permusuhan merupakan sesuatu yang bisa merusak dan membinasakan, yakni merusak agama…. Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak dianggap beriman sampai kalian saling mencintai (satu sama lain). Maukah kalian aku beritahu tentang sesuatu yang jika kalian mengamalkannya, maka kalian akan saling menyayangi, sebarkanlah salam di antara kalian”
Dalam hadits lain yang sanadnya bersambung kepada Salim dari ayahnya, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَبْنِ رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ القُرْانَ فَهُوَ بَقُوْمُ بِهِ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، و رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِى الحَقِّ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ َ
“Tidak diperbolehkan hasud kecuali kepada dua orang, yakni kepada seorang laki-laki yang diberikan al-Qur’an oleh Allah Swt sedangkan dia mengamalkannya siang dan malam; dan kepada seorang laki-laki yang diberikan harta oleh Allah Swt lalu dia menginfakannya di jalan yang benar siang dan malam”. (HR Bukhari dan Muslim)

1. Bahaya Perbuatan Hasud
Sifat hasud sangat membahayakan kehidupan manusia antara lain:
a. Merugikan diri sendiri dan orang lain
b. Mencelakakan orang lain
c. Menyebabkan hati tidak tenang karena selalu akan memikirkan bagaimana keadaan itu dapat hilang dari seseorang.
d. Menghancurkan persatuan dan kesatuan, karena biasanya orang yang hasud akan mengadu domba dan suka memfitnah
e. Menghancurkan kebaikan yang ada padanya. Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م اياكم و الحسد, فان الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب (رواه ابر داود)
Artinya: “Dari Abu Hurairah katanya: Telah bersabda rasullah SAW : Hendaklah engkau menjauhkan diri dari sifat hasud, sebab sifat hasud memakan kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar.” (HR Abu Daud)
2. Cara Menghindari Hasud
Cara menghindari hasud antara lain sebagai berikut:
a. Meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT
b. Menyadari bahwa pemberian dari Allah kepada manusia tidaklah sama, sesuai dengan kehendak-Nya
c. Menyadari bahwa hasud dapat menghapuskan kebaikan.
B. Sikap Riya’
Riya’ artinya memperlihatkan (menampakkan) diri kepada orang lain, supaya diketahui kehebatan perbuatannya, baik melalui pembicaraan, tulisan ataupun sikap perbuatan dengan tujuan mendapat perhatian, penghargaan dan pujian manusia, bukan ikhlas karena Allah
Riya’ itu bisa terjadi dalam niat, yaitu ketika akan melakukan pekerjaan. Bisa juga terjadi ketika melakukan pekerjaan atau setelah selesai melakukan suatu pekerjaan
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ”Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, ‘Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani. Dan, apabila pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu’.” Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan. Allah SWT berfirman,

Artinya: ‘Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).
Abu Hurairah RA juga pernah mendengar Rasulullah bersabda, ”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.” Begitu dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, ”Apakah keselamatan itu?” Jawab Rasulullah, ”Apabila kamu tidak menipu Allah.” Orang tersebut bertanya lagi, ”Bagaimana menipu Allah itu?” Rasulullah menjawab, ”Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.” Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia.
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata beliau, ”Orang yang riya itu memiliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliahnya ketika dirinya dicela.” Secara tegas Rasulullah pernah bersabda, ”Takutlah kamu kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil?” Rasulullah berkata, ”Yaitu sifat riya. Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya, ‘pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka’?


1. Riya’ dalam Niat

Riya’ dalam niat, yaitu ketika mengawali pekerjaan, dia mempunyai keinginan untuk mendapat pujian, sanjungan dan penghargaan dari orang lain, bukan karena Allah. Padahal niat itu sangat menentukan nilai dari suatu pekerjaan.
Jika pekerjaan yang baik dilakukan dengan niat karena Allah maka perbuatan itu mempunyai nilai di sisi Allah. Jika dilakukan karena ingin mendapat sanjungan dan penghargaan dari orang lain, maka perbuatan itu tidak akan memperoleh pahala dari Allah. Hanya sanjungan dan itulah yang akan dia peroleh. Nabi Muhammad SAW bersabda:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ … (رواه مسلم)
Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.” (HR Muslim)

2. Riya’ dalam Perbuatan
Riya’ dalam perbuatan ini, misalnya ketika mengerjakan shalat dan bersedekah. Orang riya’ ini dalam mengerjakan shalat biasanya dia memperlihatkan kesungguhan, kerajinan dan kekhusyukannya jika dia berada di tengah-tengah orang atau jamaah. Sehingga orang lain melihat dia berdiri, rukuk, sujud dan sebagainya. Dia shalat dengan tekun itu mengharapkan perhatian, sanjungan dan pujian orang lain agar dia dianggap sebagai orang yang taat dan tekun beribadah. Orang yang riya’ dalam shalatnya akan celaka diakhirat nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Maun ayat 4-7 dan An Nisa ayat 142:

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, . orang-orang yang berbuat riya’], dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al Maun : 4-7)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An Nisa : 142)


3. Bahaya Riya’
Riya’ berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Terhadap diri sendiri, bahaya riya’ itu di antaranya:
a. Munculnya ketidakpuasan terhadap apa yang dilakukan
b. Rasa hampa dan senantiasa gelisah ketika berbuat sesuatu
c. Menyesal melakukan sesuatu ketika orang lain tidak memerhatikannya
d. Jiwanya akan terganggu karena keluh kesah yang tiada hentinya.

Bahaya riya’ terhadap orang lain akan diolok-olok dan dicaci oleh orang yang telah dibantu atau memberinya dengan riya’ itu. Dia mengumpat dan mencaci itu karena keinginan untuk disanjung dan dipuji tidak dipenuhi sesuai dengan kehendaknya. Orang yang telah diumpat dan dicaci itu pasti akan tersinggung dan akhirnya terjadilah perselisihan antara keduanya.
Perbuatan riya’ sangat merugikan, karena Allah tidak akan menerima dan memberi pahala atas perbuatannya. Hal ini tergambar dalam sabda nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili di hari kiamat adalah seorang yang mati syahid, kemudian dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya dan iapun mengakuinya. Lantas ditanya: Dipergunakan untuk apa nikmat itu?, ia menjawab: Aku berperang karena-Mu sehingga aku mati syahid. Allah menjawab: Dusta engkau, sesungguhnya kamu berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Dan kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparnya ke dalam neraka.
Kedua, seorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, kemudian ia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya itu, dan ia pun mengakuinya. Lantas ditanya: Dipergunakan untuk apa nikmat itu?. Ia menjawab: Aku tidak pernah meninggalkan infaq pada jalan yang tidak engkau ridhai, melainkan aku berinfaq (hanya) karena-Mu. Lalu Allah menjawab: Dusta engkau sesungguhnya kamu berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai dermawan. Kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparkannya ke dalam neraka.
Ketiga, seorang yang belajar dan mengajar dan suka membaca Al Qur’an maka ia dihadapkan dan diperlihatkan nikmat yang telah diterimanya itu dan ia pun mengakuinya, lantas ditanya: Dipergunakan untuk apa nikmat itu?. Ia menjawab: Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta mambaca Al Qur’an hanya untuk-Mu (ya Allah). Lalu Allah menjawab: Dusta engkau. Sesungguhnya engkau menuntut ilmu supaya dikatakan orang pandai dan engkau membaca Al Qur’an supaya dikatakan sebagai qari. Lalu (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparkannya ke dalam neraka.” (HR Muslim)
Beberapa ciri orang yang mempunyai sifat riya’ dalam perbuatan:
a. Tidak akan melakukan perbuatan bila tidak dilihat orang lain
b. Beribadah hanya sekadar ikut-ikutan dan biasanya dilakukan jika ia berada di tengah-tengah orang banyak
c. Bertambah ketekunan dan motivasinya dalam beribadah jika mendapat pujian saja

C. Sikap Aniaya
Aniaya adalah perbuatan bengis seperti penyiksaan atau penindasan. Menganiaya berarti menyiksa, menyakiti dan berbagai bentuk kesewenang-wenangan seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa dan lain-lainnya
Pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa penganiayan merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Perbuatan itu sama dosanya dengan mencuri, bahkan lebih besar, karena didalamnya terdapat unsur kekerasan. Jika sampai membunuh korbannya maka jelas perbuatan itu termasuk salah satu dosa besar. Firman Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (QS Al Maidah : 33)
Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa hukuman bagi penganiaya diberlakukan sesuai dengan jenis perbuatan yang dilakukannya, yaitu sebagai berikut.
1. Jika menganiaya dan membunuh korban serta mengambil hartanya, penganiaya dihukum dibunuh dan disalib
2. Jika ia hanya mengambil harta tanpa membunuh korbannya maka hukumannya dihukum potong tangan dan kakinya dengan cara silang.
3. Jika ia tidak mengambil harta dan membunuh karena tertangkap sebelum sempat melakukan sesuatu atau hanya menakui-nakuti saja maka hukumannya adalah dipenjara.
Ada tiga macam bentuk kezaliman, yaitu:
1. Zalim terhadap Allah swt, yaitu ingkar (kufur) terhadap Allah. Misalnya mengaku beriman tetapi munafik atau murtad
2. Zalim terhadap diri sendiri, yaitu berbuat kedurhakaan atau melakukan perbuatan maksiat dan dosa pada diri sendiri. Contohnya berzina, minum minuman yang memabukkan, meninggalkan salat, malas belajar, serta tidak menyukuri segala nikmat Allah swt
3. Zalim terhadap sesama makhluk, seperti menyelakai orang lain, merusak tumbuh-tumbuhan (lingkungan hidup), dan menyiksa hewan
D . Diskriminasi
Diskriminasi adalah istilah populer yang seringkali kita dengar seiring dengan gencarnya istilah demokrasi disebut. Diskriminasi bermakna perbedaan warna kulit; perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara karena perbedaan warna kulit. Awal munculnya istilah ini memang dari adanya pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara atas dasar warna kulit. Ada kelompok warga berwarna kulit hitam dan putih.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto, diskriminasi artinya adalah perbedaan perlakuan terhadap sesama warga Negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya)
Istilah diskriminasi kemudian meluas maknanya kepada segala bentuk pembedaan atas warga negara atas dasar suku bangsa dan ras antar negara (SARA).
Islam sangat mengecam perbuatan diskriminatif. Islam tidak memandang kemuliaan seseorang atas dasar penampakan lahiriyah dan segala unsur SARA. Memang kemajemukan umat adalah hal yang sangat wajar dan semestinya. Kemajemukan bukan untuk diperselisihkan atau dipertentangkan, karena memang kemajemukan ini adalah takdir Allah SWT.
Kemajemukan seyogyanya dijadikan media untuk saling mengenal, memahami dan mempelajari agar tampak mana siapa yang paling bertaqwa di sisi Allah SWT. Agar kita mampu menghindari sikap deskriminatif tersebut, sebaiknya kita mengambil hikmah dari firman Allah SWT dalam QS. Al Hujurat [49] : 10-13 ;
Artinya :
10. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kita bisa mengambil pelajaran untuk menghindari sikap diskriminatif sebagai berikut:
4. Sesama orang yang beriman dan beragama Islam adalah saudara yang saling menyayangi dan menghormati.
5. Yang membedakan mereka di sisi Allah adalah kualitas ketaqwaan mereka.
6. Oleh karena itu kita dilarang untuk:
§ Saling merendahkan
§ Saling mencela
§ Saling memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan
§ Saling berperasangka jelek (saling curiga)
§ Saling mencari-cari kejelekan orang lain
§ Saling menggunjingkan
7. Keragaman ciptaan, bangsa dan suku adalah sesuatu yang wajar dan niscaya.
8. Allah tidak melihat kemuliaan seseorang dari penampilan luar.
9. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling taqwa.
10. Allah paling tahu siapa yang paling bertaqwa dan siapa yang hanya berpura-pura bertaqwa.
Dalam ajaran Islam keadilan ditegakkan tanpa memandang bulu/diskriminasi baik rakyat jelata ataupun raja harus tunduk kepada hukum dan ajaran Allah SWT, jika ia melanggar harus menerima konsekuensinya. Khalifah Umar bin al Khaththab r.a. pernah berkata :
ﺇِﻥﱠﭐﻹِﺳْﻼَﻡَﺟَﻤَﻊَﺑَﻴْﻨﻜُﻤَﺎﻭَﺳَﻮﱠﻯﺑَﻴْﻦَﭐﻟْﻤﻠِﻚِﻭَﭐﻟﺴﻮْﻗَﺔِﻓِﻰﭐﻟْﺤﺪﱢ
Artinya : “Sesungguhnya Islam itu menghimpun di antara kamu satu sama lain dan memandang sama antara raja dan rakyat dari segi hukum (sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah)”. (Umar bin Khaththab).


Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel