-->

ads

makalah hadis



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman kalsik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya[1]. Berdasarkan bukti histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan pengetahuan lainnya.
Menatap prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari kenyataan ini, Prof. A. Mukti Ali menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, temapat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.
Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya) hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.




B. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
    1. mengetahui definisi ilmu hadits
    2. mengetahui cabang-cabang ilmu hadits serta penjelasannya
    3. mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits
    4. mengetahui otentitas hadits
C. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah
    1. Apa definisi ilmu hadits?
    2. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits itu?
    3. Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits
    4. bagaimana otentitas hadits Nabi?













BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN Ilmu Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya.
Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. “
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yangterjadi.
ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
a. Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
b. Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.[2]
Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
c. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[3]
B. KEGUNAAN MEMPELAJARI ILMU HADITS
Adapun beberapa manfaat / kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits adalah:

 

Hadits Nasikh Dan Mansukh

Definisi
Naskh menurut bahasa mempunyai dua makna, yaitu : menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain.
Sedangkan menurut istilah, naskh adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap Syari’at terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.
Bagaimana Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh ?
Nasikh dan mansukh dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut :
1. Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2. Perkataan shahabat.
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wadai tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh.

Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh sebab itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.
Mereka mendefinisikannya sebagai berikut : “Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh, dan hadits yang datang kemudian menjadi nasikh”.


1.  Hadits
Hadits berasal dari bahasa Arab  الحديث (al hadits) jamaknya adalah الأحاديث  (al ahaadiits). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya الجديد (al jadiid) yang berarti baru, lawan dari kata القديم (al qadiim) yang berarti lama. Dalam hal ini, semua yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW itu adalah hadits (baru). Sebagai lawan/ kebalikan dari wahyu Allah (kalam Allah) yang bersifat qadim.[4] Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al Khathib. Beliau mengatakan hadits berarti sesuatu yang baru.[5] Kemudian arti hadits adalah “qarib” (yang dekat), yang belum lama terjadi seperti dalam ungkapan (baru masuk Islam) حديث العهد بالإسلام , khabar (warta) atau sesuatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Dari makna inilah diambil ungkapan “hadits Rasulullah”.

Hadits yang bermakna khabar ini diambil dari kata haddatsa, yuhadditsu, tahdiits, yang bermakna riwayat atau ikhbar (mengabarkan). Maka jika ada ungkapan حدّثنا بحديث اى اخبرنا بحديثia mengabarkan sesuatu khabar kepada kita”.

Sedangkan menurut istilah :

a.  Hadits menurut pengertian ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu pengertian hadits yang terbatas dan pengertian hadits yang luas.

Pengertian hadits yang terbatas adalah :
ما أضيف الى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قولا او فعلا او تقريرا او نحوها,ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya/ semisalnya”.
             Ta’rif  ini mengandung empat unsur yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan nabi Muhammad SAW yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
             Sementara menurut pengertian hadits yang luas, hadits tidak hanya disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, tetapi juga mencakup perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, sehingga dalam hadits ada istilah “marfu’ (yang disandarkan kepada nabi), manqul (yang disandarkan kepada sahabat) dan maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).

b.  Hadits menurut pengertian ahli usul yaitu :
اقواله صلّى الله عليه وسلّم و افعاله وتقاريره ممّا يتعلّق به حكم بنا segala perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi yang bersangkut paut dengan hukum”. Maka menurut mereka, tidak termasuk hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum, seperti masalah kebiasaan sehari-hari atau adat istiadat.

2.    Sunnah

Sunnah menurut bahasa adalah jalan yang ditempuh baik itu terpuji/ tidak terpuji. Suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamakan sunnah walaupun tidak baik.
Secara etimologi, sunnah berarti tata cara.[3] Menurut pengarang kitab Lisan Al ‘Arab ___mengutip pendapat Syammar___sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Dalam kitab Muhtar Al Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau atau perilaku hidup baik perilaku itu terpuji maupun tercela. Al Tahanuwi juga berpendapat bahwa sunnah menurut etimologi berarti tata cara, baik maupun buruk.[5]
Karena ada perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata sunnah itu.
Sunnah dalam syair-syair Arab ;
1.      Penyair Khalid mengartikan sunnah dengan tradisi.
2.      Penyair Labid mengartikan sunnah dengan aturan.
3.      Penyair Hassan bin Tsabit mengartikan sunnah dengan tradisi/ aturan.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata “sunnah” sudah dipakai penyair-penyair pada masa Jahiliyah dan Islam, untuk menunjukkan artI secara etimologi aturan/ tata cara yang dianut, baik tata cara itu terpuji maupun tercela.

Sunnah dalam  Al Qur'an
                        Kata sunnah sudah dipakai dalam  Al Qur'an untuk arti tata cara dan kebiasaan.
Sunnah dalam  sabda Nabi
           Contoh sabda Nabi SAW, dari Abu Said, Ata bin Yasar menuturkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda; “Kamu semua niscaya akan mengikuti ‘sunnah’ orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa ...”.[6]  Menurut Ibnu Hajar, sunnah di sini maksudnya tata cara.[7]
Nabi bersabda ; “sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan) orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga andai mereka memasuki sarang dhab, kamu pasti memasukinya juga”. Nabi bersabda pula; “Barangsiapa mengadakan suatu sunnah (jalan) yang baik, maka ia akan mendapatkan pahala itu dan pahala dari orang lain yang mengerjakannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mengerjakan suatu sunnah yang buruk, ia akan merasakan dosa dari pekerjaan buruk itu dan dosa dari orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat”.
                        Kata-kata sunnah dari kedua hadits di atas menunjukkan arti jalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pengertian menurut bahasa.
                        Sedangkan sunnah menurut istilah ahli hadits ialah : “segala yang dinukilkan dari nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul maupun sesudahnya”.

                        Mayoritas ahli hadits (Muhaditsiin) menegaskan bahwa sunnah dalam pengertian semacam ini adalah Muradif (sinonim) dengan kata hadits.
                        Makna inilah yang dimaksud dengan kata ‘sunnah’ dalam sabda nabi Muhammad SAW :
لَقَدْ تَـَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Sungguh aku telah tinggalkan dua perkara untukmu, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya yakni kitabullah dan sunnah rasul-Nya”.  Dan
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَ سُنَّةَ ألْخُلَفَآءِالرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِىْ
“Berpeganglah kamu erat-erat dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa Al Rasyidiin setelah aku”.
                        Pengertian lain dari sunnah adalah “syari’ah” seperti yang dimaksud dalam sabda Rasul SAW tentang iman dalam shalat yang berbunyi :
... فَاَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ
“... Kemudian yang paling pandai tentang syari’at”.
Beberapa pendapat para ulama :
1.  Al Imam Ibnu Taimiyah mengatakan : “hadits di kala tidak dikaitkan dengan suatu arti, berarti segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, sesudah beliau menjadi nabi, baik perkataannya, pekerjaannya maupun ikrarnya”.
2.  Al Imam Al Kamal Ibnu Al Humam mengatakan : “sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi yang berupa perbuatan atau perkataan, sedangkan hadits adalah hanya yang berupa perkataan saja”.
3.  Dr. Taufiq : “sunnah menurut bahasa dan istilah ulama salaf ialah khittah (garis kerja) dan jalan yang diikuti. Maka yang dinamai sunnah nabi hanyalah jalan yang beliau praktekkan terus menerus dan diikuti oleh para sahabatnya. Jadi, masih menurut Dr. Taufiq, hadits ialah perkataan (pembicaraan) yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang dan lalu mereka saja yang mengetahuinya, tidak menjadi pegangan atau amalan umum.
Tegasnya, antara sunnah dan hadits ada perbedaan yang tegas. Menamai sunnah dengan hadits adalah istilah dari para ulama’ mutaakhirin belaka. Ahli hadits banyak menggunakan kata hadits, sedangkan ahli ushul fiqih banyak memakai kata sunnah.

3.   Khabar
Khabar menurut bahasa ialah “warta berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain”, atau memberitakan, mengabarkan”.[8]
Sedangkan khabar menurut istilah ahli hadits adalah “segala bentuk berita, baik yang datang dari nabi, sahabat nabi, maupun tabi’in”.
Melihat definisi di atas,  maka hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’ bisa disebut dengan khabar. Dan oleh karena itu pula ada yang berpendapat bahwa khabar adalah segala bentuk berita (warta) yang diterima bukan dari nabi SAW saja. Contoh hadits yang berbunyi :
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَآءِ
“Islam itu mulanya asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing”.
                        Kalau ditinjau dari definisi bahwa khabar itu mencakup hadits marfu’, maka hadits di atas tadi dianggap khabar, karena meski diriwayatkan oleh imam Muslim dan abi Hurairah r.a, menurut sebagian para ahli hadits, hadits ini dianggap marfu’.

4.   Atsar
Adapun atsar menurut bahasa adalah “berkas atau dampak sesuatu”. Atau sesuatu yang diambil, misal doa yang diambil langsung kalimat-kalimatnya dari nabi SAW disebut dengan doa ma’tsur. Contoh doa nabi SAW yang diriwayatkan oleh Annas, r.a :
وعن انس رضي الله عنه قال : كان اكثر دعاء النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم اللّهمّ آتنا فى الدّنيا حسنة و فى الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار (متفق عليه )
Dari Anas r.a, ia berkata : doa nabi SAW yang paling banyak (dibaca) adalah “wahai Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (HR. Bukhari Muslim).
Sementara pengertian atsar menurut istilah mayoritas ahli hadits sama dengan khabar dan hadits.
Para Fuqaha’ (ahli Fiqih) menggunakan kata atsar untuk ucapan-ucapan sahabat, tabi’iin, ulama’ salaf dan lain-lain.
Ada yang berpendapat bahwa atsar lebih umum daripada khabar, dengan alasan bahwa atsar mencakup segala berita yang datang dari nabi dan lainnya. Sementara khabar ditujukan kepada berita yang datang dari nabi SAW saja.
Dari uraian di atas, untuk membedakan mana yang termasuk hadits/ khabar/ atsar, seseorang harus mengetahui kedudukan sanad yang menyampaikan matan hadits yang dimaksud, apakah ia bersambung sampai nabi SAW atau tidak. Wallaahu a’lam.















































Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999.
At Thahhan, Mahmud. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij Dan Studi Sanad. Semarang: Dina Utama, 1995.
Azami, M.M. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Yaqub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
M. Isa H.A. Salam Bustamin. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Matsna, Moh. Qur’an Hadits. Semarang: Toha Putra, 2004.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadits Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta:--, 2003.


[1] Muhammad Subhi Al Salih, ‘Ulumul Al Haddis Wa Mustalahuh (Beirut: Dar Al Fikr, 1989), 4-5.
[2] Ajjaj al Khathib, Usul Al Hadis Wa Mustalahaha (Beirut: Dar Al Fikr, 1975), 26.
[3] Al Qamus Al Muhit Dan Lisan Al ‘Arab; kata “sunan”.
[4] Muhtar Al Shihah: 339.
[5] Kasysyaf Istilahat Al Funun, 703.
[6] Shahih Bukhari, Al Intiba’, 50.
[7] Fath Al Bari , VI : 498.
[8] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 180



[1] An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
[2] Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
[3] Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad.
[4] Muhammad Subhi Al Salih, ‘Ulumul Al Haddis Wa Mustalahuh (Beirut: Dar Al Fikr, 1989), 4-5.
[5] Ajjaj al Khathib, Usul Al Hadis Wa Mustalahaha (Beirut: Dar Al Fikr, 1975), 26.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel